Isu-Isu Pokok

Isu-isu Pokok Pengelolaan Kawasan

Isu dan permasalahan yang berhasil diidentifikasi dari hasil survey lapang, observasi di lapangan serta wawancara dan diskusi intensif bersama masyarakat ini mencakup dua hal pokok, yaitu isu mengenai degradasi sumberdaya alam dan lingkungan yang menyangkut degradasi kawasan dan alih fungsi lahan serta isu permasalahan sosial dan kelembagaan pengelolaan kawasan yang menyangkut manajemen pengelolaan kawasan. Isu dan permasalahan yang dominan sebenarnya terkait dengan pengelolaan kawasan baik dilihat dari sisi sumberdaya alam (ekologi) dan kelembagaan dan sosial ekonomi.

Isu dan permasalahan terkait isu pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan tersaji pada tabel berikut :

No.Isu dan PermasalahanPenjelasan
1Rawan Bencana banjir kiriman dan banjir pasangSaat pasang purnama air pasang tinggi menggenangi perkampungan dan saat musim hujan, selalu terjadi banjir termasuk ke wilayah bagian atas
2Illegal Loging dan Kerusakan hutan mangrovePenebangan hutan mangrove oleh masyarakat untuk kayu bakar dan bahan bangunan
3Alih fungsi lahanPenggunaan kawasan hutan mangrove untuk dibuat persawahan dan pemukiman
4Pemanfaatan ruang/lahan tidak sesuai daya dukung-daya tampung lingkunganLahan mangrove sudah berubah menjadi sawah, rawa pasang surut, tambak, pemukiman dan lahan kosong
5Tingginya tingkat sedimentasiDari sungai yang bermuara di Segara Anakan, yaitu Citanduy, Cibereum, dan Cikonde

Luasan Hutan yang ditumbuhi vegetasi mangrove di Segara Anakan setiap tahun mengalami penyusutan, Penyebab utamanya yaitu terjadinya sedimentasi yang terus bertambah di Kawasan Segara Anakan. Hal ini karena Kawasan Segara Anakan meruakan muara dari beberapa sungai besar antar lain Sungai Citanduy, Sungai Cimeneng, dan Sungai Cikonde. Selain sedimentasi kerusakan hutan mangrove juga banyak disebabkan oleh pembalakan liar dan alih fungsi lahan dari hutan mangrove menjadi lahan pertanian dan untuk tambak udang.

Aktifitas pembalakan liar dapat terlihat dari kondisi vegetasi mangrove yang sangat sulit untuk dijumpai tumbuhan mangrove dengan ukuran diameter diatas 20 cm (pohon). Pohon-pohon yang besar sudah banyak ditebang untuk dijadikan kayu bakar dan bahan bangunan. Aktifitas pembalakan liar dapat dilihat dari beberapa gambar berikut :

Pohon Bakau yang sudah ditebang
Pohon Tancang Putih yang belum lama ditebang

Terkadang pohon yang ditebang masih dapat bertahan hidup dan dapat tumbuh kembali, namun apabila penebangan dilakukan dari pangkal akar pohon maka kemungkinan untuk dapat tumbuh kembali sangatlah kecil.

Selain itu juga terdapat alih fungsi kawasan menjadi kawasan pertanian dan tambak. Berdasarkan pengamatan di lapangan untuk proses peralihan fungsi kawasan hutan mangrove hingga menjadi tambak atau kawasan pertanian terjadi secara bertahap. Kawasan yang terjadi alih fungsi merupakan kawasan yang tidak terlalu dipengaruhi pasang surut air laut. Kawasan tersebut tetap kering disaat air pasang.

Beberapa kawasan yang telah beralih fungsi dapat dilihat dalam gambar berikut :

Pembukaan hutan mangrove untuk ladang dan tambak
Foto udara kawasan yang telah dijadikan tambak
Foto udara kawasan mangrove yang dialih fungsi menjadi lahan pertanian

Maraknya kegiatan alih fungsi kawasan mangrove ada kemungkinan disebabkan oleh semakin berkurangnya hasil tangkapan ikan para nelayan sehingga mata pencaharian warga mulai beralih dari nelayan ke petani. Hal ini merupakan tantangan terhadap pengelolaan kawasan Segara Anakan untuk menyusun alternatif mata pencaharian masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil perikanan di Segara Anakan.

Untuk menangani aktivitas pembalakan liar dan alih fungsi kawasan perlu dilakukan penyadaran terhadap masyarakat tentang peran penting hutan mangrove sebagai tempat pemijahan (spawning ground) bagi ikan-ikan tertentu agar terlindungi dari predator, sekaligus mencari lingkungan yang optimal untuk memisah dan membesarkan anaknya. Mangrove juga menjadi pemasok larva udang, ikan dan biota lainnya. Cara lain yaitu mencari alternatif pengelolaan tambak supaya hutan mangrove tidak seluruhnya dihilangkan yaitu dengan sistem silvofishery dengan mengkombinasikan hutan mangrove dan budidaya ikan/kepiting/udang.

Beberapa model silfofishery untuk hutan mangrove dapat dilihat dalam gambar berikut :

Silfofishery model empang parit

Model empang yaitu penanaman pohon mangrove yang langsung di dalam wilayah budidaya ikan. Pada model ini, pohon mangrove dan budidaya ikan berada pada satu lahan dengan menggunakan satu pintu air. hutan mangrove di letakkan di tengah dan pada bagian pinggir diberi wilayah sebagai tempat ikan berenang bebas.

Silfofishery model komplang

Model komplang yaitu lahan sebagai tempat penanaman hutan mangrove dan budidaya ikan dipisah dengan menggunakan tanggul. akan tetapi terdapat pintu air yang menyambungkan antara keduanya. Pada model ini, satu wilayah tambak dibagi menjadi dua bagian dengan 2 pintu air. Pintu air pertama mengarah pada wilayah budidaya ikan, dan yang kedua pada pohon mangrove.

Silfofishery model jalur

Silvofishery model jalur merupakan yang paling umum digunakan di Indonesia. Model ini meletakkan pohon mangrove di sisi dalam tambak tepat pada bagian tanggul atau pematang. selain memberikan manfaat langsung pada ikan, adanya pohon mangrove juga dapat memperkuat pematang tambak.

Sementara isu dan permasalahan kelembagaan dan sosial ekonomi sebenarnya lebih didominasi oleh isu dan permasalahan yang berasal dari masyarakat itu sendiri terkait, dengan persoalan perilaku masyarakat dan pelayanan terhadap masyarakat dalam konteks pengelolaan kawasan. Seiring dengan pembangunan di wilayah ini, persoalan sosial ekonomi juga berkembang terkait dengan keberadaan jumlah penduduk yang semakin meningkat dan tuntutan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat. Isu dan permasalahan terkait persoalan sosial, ekonomi dan kelembagaan tersaji pada tabel berikut :

No.Isu dan PermasalahanPenjelasan
1Status kepemilikan lahan/tanah di kawasan.Tanah masih berstatus Perhutani dan kawasan konservasi (milik negara), sehingga pengembangan ekonomi termasuk wisata yang berbasis sumberdaya alam belum bisa berkembang.
2Ketidakjelasan Tata Ruang menyangkut ketentuan status kawasan (lindung dan kawasan pengembangan ekonomi).Fungsi kawasan lindung sudah sangat terganggu, sementara perekonomian juga tidak berkembang
3Terganggunya alur pelayaran akibat pendangkalanSangat mengganggu mobilitas penduduk, pelayanan publik dan menghambat lalu lintas orang dan barang, termasuk pariwisata
4Tumpang tindih kepentingan dan kewenangan antar berbagai pihak dalam pengelolaan kawasan(1) Antara masyarakat, pemerintah daerah, Perhutani dan Kementerian Hukum dan HAM.
2) Pengelolaan kawasan oleh banyak pihak, lintas provinsi, lintas instansi dan multi stakeholder dengan kepentingan masing-masing .
5Perubahan mata pencaharian masyarakatAkibat daya dukung lahan untuk perikanan budidaya sudah semakin menurun dan hasil kegiatan perikanan tangkap pun semakin berkurang, aktivitas masyarakat banyak yang beralih ke pertanian, namun produksi dan produktifitasnya rendah akibat pengaruh air asin dan kesulitan pengairan
6Terbatasnya sarana prasarana pelayanan publik, termasuk terbatasnya akses dan mobilitas penduduk1) Wilayah yang terpencil, jalur transportasi yang tidak terhubung, dan terpisah oleh air, sehingga angkutan dan listrik belum optimal. Sarana pendidikan dan kesehatan ada, namun prasarananya sangat minim
(2) Status lahan yang belum jelas menyebabkan upaya pembangunan terhamabat
7Pengolahan hasil laut dan pemasaran yang tidak berkembangPengolahan ikan tidak maksimal karena ketersediaan bahan baku yang semakin sulit dan sarana transportasi yang sangat terbatas
8Pengolahan hasil pertanian yang tidak berkembangPengolahan hasil pertanian seperti gula kelapa, sulit berkembang salah satunya karena listrik tidak ada dan pemasaran terhambat transportasi
9Penguasaan lahan dan tanah timbul oleh masyarakatMasyarakat menuntut tanah timbul untuk dibagikan per dusun/desa, namun berakibat:
Keberadaan hutan mangrove semakin terancam
Intensifikasi tanah
Perubahan lahan mangrove menjadi lahan pertanian/pemukiman
10Rendahnya pendapatan masyarakat1) Lingkungan yang terdegradasi menyebabkan pendapatan masyarakat jauh dari cukup, terlebih status lahan yang diusahakan masyarakat belum jelas
(2) Semakin terbatasnya sumber penghasilan nelayan, akibat menurunya produktifitas tangkapan Akibat daya dukung lahan untuk perikanan budidaya sudah semakin menurun
11Peningkatan jumlah pendudukPertumbuhan yang cepat, berbenturan dengan status kawasan sebagai kawasan konservasi, menyulitkan pengelolaan dan memerlukan lahan untuk perluasan pemukiman

Dari 16 isu dan permasalahan yang teridentifikasi di atas, isu strategis yang langsung terkait dengan biodiversity dan pengelolaannya adalah sebagai berikut :

1. Status Kepemilikan lahan

Sebagian besar tanah di kawasan Segara Anakan adalah tanah timbul akibat pendangkalan dan sampai saat ini masih berstatus di bawah pengelolaan Perhutani (di bagian timur) dan kawasan konservasi (milik negara), sehingga pengembangan ekonomi termasuk wisata yang berbasis sumberdaya alam belum berkembang.

Selain itu di kawasan ini banyak sekali kepentingan dan kewenangan antar berbagai pihak, antara masyarakat, antar pemerintah daerah (Ciamis-Jawa Barat dan Cilacap Jawa Tengah), Perum Perhutani, Kementerian Pekerjaan Umum dan Kementerian Hukum dan HAM menjadi topik yang selalu muncul dalam pembahasan pengelolaan kawasan. Tumpang tindih pengelolaan kawasan ini melibatkan banyak pihak (multi stakeholder), multi level, lintas provinsi, lintas instansi dan multi stakeholder, yang krusial juga selalu menjadi isu penting adalah fakta bahwa sebahagian besar kawasan di bagian selatan adalah kawasan tertutup (Pulau Nusakambangan) yang digunakan untuk kepentingan konservasi, penjara dan latihan militer.

Hal lain terkait status kawasan adalah ketidakjelasan Tata Ruang di kawasan ini, yakni dalam dokumen resmi Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Kabupaten Cilacap, kawasan ini adalah sebagai kawasan konservasi. Namun keadaan riil dimana sudah ada kecamatan definitive dengan 4 desa di dalamnya, artinya di kawasan ini terdapat berbagai aktifitas masyarakat, hal ini semakin menjadi rumitnya permasalahan, terjadi konflik kepentingan menyangkut ketentuan status kawasan (antara fungsi lindung dan fungsi pengembangan ekonomi). Fungsi kawasan lindung sudah sangat terganggu akibat pendangkalan, perambahan hutan, dan penebangan mangrove. Sementara itu perekonomian juga tidak berkembang, dampak dari terbatasnya sarana dan prasarana dan ketidak jelasan status lahan tersebut.

Akibat ketidak jelasan ini, fakta dilapangan menunjukkan bahwa telah terjadi penguasaan lahan (okupasi) tanah timbul oleh masyarakat. Tanah ini digunakan untuk berbagai kepentingan masyarakat, baik untuk kepentingan pribadi (pemukiman, tambak, sawah) ataupun kepentingan umum (fasilitas social, jalan, sekolah, kantor desa, dsb). Masyarakat menuntut tanah timbul untuk dibagikan kepada anggota masyarakat per dusun atau desa. Namun opsi ini harus mendapatkan kajian secara mendalam, karena jika ini terjadi akan berakibat pada kondisi :

  • Hutan mangrove terancam hilang, karena lahan yang akan dibagikan merambah sampai kawasan hutan mangrove.
  • Intensifikasi penggunaan lahan yang semakin masuk kawasan hutan mangrove.
  • Perubahan kawasan hutan mangrove menjadi lahan pertanian, pemukiman, dan tambak, sehingga mengancam fungsi ekologi ekosistem.

2. Perubahan Mata Pencaharian Masyarakat dan Belum Optimalnya Perkembangan Perekonomian Masyarakat

Awalnya masyarakat Kampung Laut adalah nelayan, namun seiring pendangkalan dan perambahan hutan mangrove, sumberdaya perikanan tangkap jauh menurun, sehingga masyarakat kemudian mengembangkan tambak udang dan bandeng, kondisi ini pun tidak berlanjut karena menurunnya daya dukung lingkungan untuk kegiatan budidaya, karena kesalahan teknis budidaya. Kondisi ini di perparah dengan semakin berkembangnya kegiatan pertanian (lahan sawah dan kebun) bahkan kegiatan ini sampai merambah hutan mangrove di kawasan, yang semakin membuat Kampung Laut berevolusi menjadi desa pertanian, ketimbang desa pesisir. Namun sampai saat ini produksi dan produktifitas kegiatan pertanian juga sangat rendah akibat hanya mengandalkan tadah hujan dan yang terparah adalah karena pengaruh air asin. Hal ini berakibat semakin tinggi jumlah lahan kosong yang terbengkalai dan tidak produktif yang mulai berdampak buruk bagi lingkungan.

Disamping kondisi di atas, tidak optimalnya perkembangan perekonomian masyarakat juga disebabkan oleh masih terbatasnya sarana dan prasarana pendukung seperti listrik, saluran pengairan dan prasarana jalan serta sarana transportasi. Kegiatan alternatif yang sudah direncanakan dan dikembangkan yakni wisata bahari juga belum bisa berkembang dengan baik, karena belum dikelola secara terpadu lintas sektor.

3. Peningkatan Jumlah Penduduk

Berdasarkan data statistik tahun 2017 jumlah penduduk Kecamatan Kampung Laut sudah mencapai 17.263 jiwa dengan jumlah kepala keluarga (KK) sebanyak 4.222 KK dengan tingkat kepadatan penduduk rata-rata di Kampung Laut mencapai 118 jiwa/km2. Kondisi ini berbenturan dengan kondisl status kawasan yang belum jelas, akan semakin menyulitkan pengelolaan. Hal ini menjadi ancaman utama untuk fungsi kawasan, karena kebutuhan perluasan untuk pemukiman.